Friday, June 17, 2011

Aku, Kamu dan Hujan


Hujan turun dengan begitu lebatnya. Suara petir menggelegar. Seolah ingin menyambar dan menghancurkan apapun yang di lewatinya. Namun aku tidak mempedulikan semua itu. Aku terus berlari di antara rinai hujan. Aku tidak peduli dengan bajuku yang sudah basah kuyup. Air mataku tak tampak lagi karena membaur dengan derasnya hujan. Hatiku sakit, hatiku perih.
Kata-kata putus yang di lontarkan Iwan sungguh sangat menusuk hatiku. Suara itu bagai petir terdengar di telingaku, menghacurkan hatiku. Lima tahun aku dan dia menjalin hubungan. Pernikahan sudah kami rencanakan untuk tahun yang akan datang. Tapi tiba tiba dia memutuskan hubungan ini hanya gara gara gadis lain yang baru dia kenal. Sungguh semua diluar dugaanku. Menyakitkan. Aku masih tidak percaya iwan melakukan hal itu terhadapku.
Aku terus menyusuri jalanan sepi menuju rumah. Meski cukup jauh aku tak peduli. Hujan seolah mengerti panasnya hatiku penuh emosi, hingga derasnya seolah ingin memadamkan bara yang ada.
Langkahku tiba tiba terhenti. Hujan ku rasakan tidak lagi menerpa tubuhku. Seseorang telah melindungiku dari hujan dengan Jaket yang di milikinya.
“Hey, gadis bodo kok maen hujan-hujanan sich, kalau tersambar petir bagaimana coba.” Suara orang tak ku kenal membuat langkahku terhenti dan mengagetkanku.
“Eh…kamu siapa sih? Sembarangan ngatain orang bodo.” Jawabku dengan kesal
“Gimana mau di sebut gadis pintar dan smart, sudah tahu hujan deras begini malah jalan sendirian. Emang masa kecil belum pernah maen hujan hujanan” timpal cowok itu ngeles.
“Apa pedulimu”
“Tentu saja aku peduli, akukan cowok yang tahu bahwa aku harus melindungi seorang cewek”
“Tapi aku tak butuh perlindunganmu. Lagian aku gak kenal siapa kamu. Atau jangan-jangan kamu ingin menculik aku” sergahku dengan kesal.
“hahahhahaha, menculik kamu? Yang bener saja.”
Entah muncul dari mana cowok aneh itu. Tawanya bener bener menambah aku kesal. Aku mempercepat langkahku tetapi dia tetap mengikuti dan tetap ingin melindungi aku dari hujan dengan jaket kepunyaanya.
Tepat di sebuah halte bus tiba-tiba dia menarik tanganku mengajak untuk berhenti dan berteduh menunggu hujan berhenti.
“Eh…stooppp kita berteduh dulu saja di sini ok”. Ajaknya sambil menarik tanganku
“Eh kamu berteduh, berteduh saja. Aku mau pulang”
“Kamu ini cewek kok bandel amat sich…”
“Apa pedulimu coba?”
“Hmmmm dasar cewek bandel, ya sudah yuk aku temenin sampai rumah kamu”
“Ngapain kamu mau nemenin aku hingga sampai rumah?, kamu itu siapa sih?, apa maksud kamu ngikutin aku?.
“Aku nggak akan nyulik kamulah, ok. Namaku Ryan, ini kartu namaku”
“Ih…buat apa kartu namamu? Nggak penting banget”
Sesaat keadaan menjadi hening. Rinai hujan masih terlihat deras menimbulkan suara gemletok menimpa atap halte bus di mana aku dan dia berteduh. Badanku terasa dingin, aku menggigil. Kata kata yang tadi ku dengar dari mulut Iwan kembali mengusik telinga dan hatiku. Air mata kembali menderai. Buru-buru ku hapus air mataku sebelum Ryan mengetahuinya.
“Hey….kenapa kamu nangis. Haduuhhhh cakep-cakep selain bandel cengeng juga ea,” Ryan mencoba mencairkan suasana. Aku tidak mempedulikan ocehanya. Aku tetap asyik larut dalam fikiranku sendiri. Hujan kian reda. Hanya menyisakan rinai gerimis. Mentari mulai bersinar walau gerimis masih setia. Suasana menjadi indah. Dingin tak lagi kurasa. Kini tubuhku terbalut jaket milik Ryan.
“Hujan sudah reda aku mau  pulang, O ya jaket kamu aku bawa ea nanti aku cuci dank u kembalikan lain hari. Terimakasih dah menemani aku. Aku Rena”. Ku ulurkan tanganku sebagai perkenalan, dan langsung meninggalkanya.
“Hey…Tunggu!!, bagaimana kamu akan mengembalikan jaketku nanti?” Rian mengejarku.
Aku menghentikan langkahku dan berbalik padanya yang ada di belakangku, aku ambil kartu nama yang di pegangnya tanpa berkata apa apa dan langsung meninggalkanya kembali. Dia hanya diam menatapku pergi meninggalkanya dalam diam.
Tak terasa dua bulan sudah masa pertemuanku dengan Ryan berlalu. Gerimis di senja ini cukup bisa mengingatkanku akan pertemuanku dengan dia waktu itu. “Dasar cowok aneh,” gumanku dalam hati. Aku tersenyum. Terasa ada rasa lain yang tiba tiba menjalari hatiku. Aku tiba-tiba merindukan sosoknya yang konyol dan nyebelin itu.
Ku coba mencari cari kartu nama yang dulu diberikanya padaku, tapi tak kutemukan juga. Semua isi tas sekaligus barang barang yang ada dalam laci mejaku sudah aku keluarin tapi tak kutemukan. “Kemana sich itu kartu,” gerutuku dengan muka manyun. Ku acak acak seisi kamar tak kutemukan juga. Nasib mungkin.
Rasanya memang musim sudah tidak bersahabat. Seharusnya ini adalah musim kemarau tapi entah kenapa hamper setiap hari hujan, bahkan terkadang sangat deras. Seperti hari ini saat pulang kuliah hujan menerpa. Aku sengaja berjalan kaki karena memang aku sangat suka dengan hujan, sekalian siapa tahu ketemu cowok aneh itu.”Lelaki hujan”. Itulah nama yang aku beri untuk dia.
Kulangkahkan kakiku menapaki jalanan, menentang hujan dan petir yang sesekali terasa menyentak seolah memberi peringatan akan adanya banjir.
“Hey…jelek, kok gak pernah menghubungi aku sich. Orang di tungguin juga,”langkahku terhenti seketika. Suara Ryan si cowok aneh itu mengejutanku.
“Kamu tu ya selalu saja mengagetkan aku, apa sih mau kamu? Kenapa kamu selalu muncul ketika aku ingin menikmati hujan?” ucapku sewot.
“Udah jangan cerewet, ayuk kita berteduh di halte dulu,” Ryan menarik tanganku membawaku ke halte tepat dimana dulu kita pernah berteduh juga.
“ eh….kamu cewek aneh dech…kenapa sich kamu suka hujan hujanan, kamu kan sudah besar?” tanya Ryan sembari meledek.
“Kamu sendiri kenapa selalu muncul menggangguku waktu aku mau menikmati hujan? Oya nih jaket kamu” aku menyerahkan jaket dia yang dulu sempat aku bawa.
“Wah berarti selama ini pasti kamu selalu bawa jaketku dengan harapan kamu ketemu sama aku, iya kan,”
“Gak usah kePDan dech kamu”
“Hmmmm dasar cewek jutek, bawel, cengeng lagi”
“Dasar cowok aneh”
“Tapi kan keren dan perhatian”
“Ich…..”
Senyap seketika. Kami berdua larut dalam fikiran masing masing. Entah apa yang di fikirkan Ryan. Tapi yang pasti sejujurnya aku sangat bahagia hari ini bisa bertemu dengannya. Rasanya aku mulai menyukainya. Aku tiba tiba merasakan kenyamanan ada di dekat dia. “Duch ada apa denganku”.
“Kenapa kamu selalu…” tidak sengaja kami berdua mengucapkan kalimat sama dan bersamaan. Akhirnya kami berdua tertawa bersama sama.
“Kamu mau ngomong apa barusan” tanyaku padanya.
“Tak ada, kamu sendiri mau bilang apa”
“Tak ada juga”
“Ren…..boleh aku tahu no Tlp kamu?”
“Owh boleh,” jawabku seraya menuliskan no HPku pada kertas dan menyerahkanya pada Ryan.
“Sewaktu waktu Ryan boleh call ea?”
“Silahkan saja, eh sudah gak hujan ku pulang dulu ea,” aku beranjak dan bergegas meninggalkan dia.
Malam beranjak, hawa dingin sangat terasa mungkin karena tadi sore hujanya sangat deras. Berkali kali Ryan SMS namun tak satupun yang aku balas. Berkali kali juga dia mencoba menelfonku tapi aku juga malas mengangkatnya, karena ku fakir pasti kalau aku jawab SMS ataupun panggilan dari dia, dia akan semakin menjadi dengan sifat narsisnya itu.
Untuk kesekian kalinya SMS dan panggilan Ryan masuk ke Hpku. Dengan malas akhirnya aku menjawabnya. “Hallo,” jawabku dengan malas.
“Rena kok kamu gak pernah membalas SMS dan menjawab panggilan dari aku sich?, maafin aku ya kalau aku mengganggu waktumu”.
“Enggak kok, maaf soalnya beberapa hari terakhir ini aku sibuk banget” jawabku berbohong. Akhirnya kami mengobrol bercanda asal asalan. Dia memang gokil. Pandai membuat aku tertawa walau kadang juga membuat aku jengah karena sikapnya yang kadang terlalu narsis.
Semenjak saat itu hampir setiap hari Ryan selalu menelfonku. Aku dan dia semakin akrap. Kami sering jalan jalan, bahkan ketika senja gerimis atau hujan kita sering menikmatinya berdua. Aku dan dia sama sama menyukai gerimis, kami menyukai hujan. Akhirnya bertahun sudah kita bersahabat dan kami putuskan kita jadian. Dari masa ke masa, waktu yang selalu kami lalui dalam kebersamaan membuat kami mengerti bahwa ternyata kami sama-sama saling mencintai dan menyayangi.
“Rena Sayank, Ryan pingin melamarmu. Aku pingin kita segera menikah,” SMS sinkat yang di kirim Ryan malam itu. Tidak biasanya dia SMS begitu. Aku tersenyum gembira dan jariku serentak bergerak membalasnya. “ Sayank, Rena bahagia dengan itu semua. Rena menunggu untuk itu kapanpun kamu mau sayank”.
Waktu yang di tentukan Ryan tiba. Malam nanti Ryan akan melamarku dan kita putuskan untuk bertunangan sampai kita tahu hari pernikahan yang mana kami ingin melakukanya secepatnya. Restoran yang menjadi tempat dimana kami berdua selalu makan bersama menjadi pilihan sebagai tempat untuk acara lamaran. Kebetulan acara akan di hadiri hanya dari keluarga dekat saya tidak lebih daru dua puluh orang.
“Sayank, aku ingin kamu nanti malam memakai Gaun ini” Ryan menyerahkan bingkisan yang di hiasi sedemikian indah. Gaun yang dia ingin aku memakainya waktu acara nanti malam. Aku buka perlahan. Sedikit heran saat melihat warna gaun pilihan Ryan.
“Sayank, kok hitam? Kenapa nggak putih?” tanyaku heran “Tapi bagus ini aku suka”.
“Putih itu sudah umum Rena sayank, aku ingin beda untuk kita. Lagian kamu ingat tidak kapanpun kita bertemu selama ini selalu saja kita memakai baju hitam ataupun warna gelap dan itu tanpa kita sadari ataupun kita rencanakan” Terang Ryan memberi alasan. Aku tidak mengira sama sekali dia akan mengingat hal hal sepele seperti itu.
Seluruh keluarga Sudah berkumpul. Acarapun berjalan lancer di lanjutkan makan bersama. Aku sangat bahagia mala mini. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri. Tujuh bulan lagi. Ya waktu yang di setujui oleh keluarga adalah tujuh bulan lagi tepat di hari dan tanggal serta bulan di mana dulu aku dan Ryan jadian. Mengikrarkan bahwa kami akan saling mengisi dan menjaga satu sama lain.
Malam sudah larut. Jarum jam menunjuk jam sebelas tepat. Kami semua pulang dengan hati lega dan bahagia. Aku pulang bersama keluargaku,dan Ryanpun juga bersama keluarganya. Sebelum berpisah Ryan sempat berpamitan sama orang tuaku dan keluarga yang lain. Juga dengan diriku.
“Sayank, terimakasih ea. Mala mini kamu cantik banget. Sayank I Love You, terimakasih kamu sudah m,enemaniku selama ini, kamu sudah mengisi hari hariku, kamu sudah memberikan kebahagian dalam hidupku. Aku akan menjaga dan membawa cinta ini sampai nanti aku mati. Aku janji sama kamu sayank”. Ryan mencium tangan dan keningku. Entah mengapa ada perasaan aneh yang tiba tiba menyelinap di hatiku. Tak terasa air mataku menetes, haru sekaligus bahagia.
“Terimakasih juga sayank. Aku juga bahagia memilikimu. Aku juga janji akan menjaga semuanya. Aku juga sangat mencintaimu”. Aku menangis haru dan menghambur dalam pelukanya. Entah mengapa tiba tiba aku merasa takut kehilangan dia. Seolah olah akan di tinggal pergi jauh. Aku mengecup tangan dan kening Ryan dan bergegas meninggalkanya.
Sepanjang perjalanan pulang hujan tak henti mengguyur. Gemuruh petir kian membuat takutku semakin menjadi. Hatiku resah terlalu. Entah karena apa. Baru saja mobil mau memasuki halaman rumah HPku berbunyi. No Ryan yang memanggil.
“Rena ini om….tolong kamu cepat ke rumah sakit Graha sekarang juga” suara om Hakim, ayah Ryan langsung putus tanpa memberiku kesempatan menanyakan siapa yang sakit. Aku memberitahu bapak dan ibu tentang hal itu dan kami segera menuju rumah sakit yang di tunjuk Om Hakim.
“Om, siapa yang sakit om?” tanyaku tidak mengerti
“Rena, tidak ada yang sakit sayank. Mobil yang di kendarai Ryan dan mamanya mengalami kecelakaan, sekarang dokter lagi menangani mereka berdua.Kita sama sama berdo’a saja semoga mereka tidak apa apa,” jelas om Hakim seraya menenangkanku.
Aku tersedu dalam tangisku. Tiba tiba hatiku sakit. Ibu mencoba menenangkanku. Aku lemas seketika. Terasa sesak dada ini. Aku Takut akan semua. Pintu Ruangan dimana Ryan dan mamanya di tangani terbuka Dokter keluar aku segera menhambur kearahnya.
“Dok, gimana keadaan Ryan dan mamanya Dok,” tanyaku dalam isak tangis yang tak bisa aku bendung.
Hujan semakin deras, Petir gemuruh bersaut sautan. “Keadaan mamanya masih kritis kita berdoa saja untuk beliau, tetapi Ryan…..maaf kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi nampaknya dia tidak bisa bertahan. Maafkan kami”.Terang dokter itu seraya melangkah pergi meninggalkan kami semua. Aku limbung, lemas serasa tulang tulangku rapuh, petir di luar sana seakan menyambar hatiku. Hatiku hancur. Kepalaku pusing, pandanganku nanar setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku pingsan.
Saat ku buka mata, ruangan itu terasa sepi, ku kumpulkan semua kesadaranku mencoba mengingat apa yang terjadi. “Ryan”. Tiba tiba aku teringat akan dia. Aku berlari keruang tengah. Banyak orang berkumpul disana. Lantunan surat Yasin mengalun menggema memenuhi ruangan. Aku menagis, melangkah lunglai mendekati raga yang terbujur kaku dengan wajah pucat yang berada di tengah tengah orang orang yang ada. Isakku semakin menjadi.
“Ryan kenapa kamu pergi meninggalkan aku secepat ini, mana janji kamu” aku menangis memeluk raga Ryan yang dingin dan pucat.
Gerimis Turun setelah acara pemakaman Ryan selesai. Aku tetap tinggal sedang orang orang satu persatu meninggalkan tempat pemakaman itu. Ryan, aku tahu mesti kau sudah pergi kamu selalu ada dan akan menemaniku. Kamu selalu ada dan menjelma dalam Rinai hujan. Lihatlah gerimis saat ini. Rinainya menyapa menghantarkanmu dalam peristirahatan abadimu. Semoga kamu tenang di tempatmu Ryan aku akan selalu mencintaimu.Tidurlah, cinta dan Doaku menemanimu.
Sejak saat itu setiap gerimis ataupun hujan tiba aku menikmatinya, karena aku yakin saat itu Ryan ada di antara rintiknya.

2 comments:

Nessa MetaKartika said...

manis...

Idea said...

hujan selalu romnatis memang :)